Total Tayangan Halaman

Senin, 26 September 2011

RINDU RIEDL


Tulisan ini sebenarnya sudah tersimpan di memori komputer penulis, ketika Timnas Garuda kalah 2-0 dari timnas Bahrain dalam pertandingan lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2014 di kandang sendiri, Gelora Bung Karno, hanya saja kemudian saat itu penulis tidak ada "mood" lagi untuk menyelesaikan dan mem-publish kan tulisan tersebut, memang beda rasanya kalau kita baru mengalami kekalahan (penulis juga manusia), yang kadang mood nya berganti-ganti...he..he
Akhir dari pertandingan tersebut,tentu sudah kita ketahui bersama, bahkan bumbu-bumbu yang menyertai kekalahan tersebut, menjadi melebar dan menjadi konsumsi masyarakat luas selama berhari-hari, diawali dengan pernyataan kontroversial pelatim timnas kita saat ini Wim Risjbergen yang seakan-akan menyalahkan para pemain terhadap hasil pertandingan tersebut, hingga rumor mendamprat habis-habisan para pemain timnas di sela jeda pertandingan, yang akhirnya menjadi aksi mogok bertanding yang akan dilakukan sebagian pemain apabila pria asal negeri Belanda itu masih jadi pelatih.
Tapi, di benak penulis, jujur saja ada hal lain yang dirasakan setelah laga itu usai, tiba-tiba saja ada rasa rindu pada seorang pria asal Austria yang dengan tampang dinginnya, beberapa waktu lalu di piala AFF 2010, memberikan sebuah kebahagiaan, optimisme dan euforia yang membuncah dalam dada setiap rakyat Indonesia, walaupun pada akhirnya kita tidak jadi memenangi turnamen tersebut.
Pria itu adalah Alfred Riedl (AR), nama itu begitu membekas dalam hati penulis, di tangannya lah, tiba-tiba timnas kembali memenangi hati rakyat negeri ini,yang selama ini sudah diliputi pesimisme dan apatisme terhadap timnas, dengan pendekatan khususnya, tiba-tiba saja para pemain kita menjadi lebih bersemangat dalam menjelajahi jengkal demi jengkal rumput stadion yang namanya diambil dari presiden pertama negeri ini.
AR memberikan dimensi lain dan berbeda, sehingga kita yang menonton baik langsung ataupun hanya melalui kotak kaca di ruang keluarga,timbul rasa layaknya memiliki timnas seperti negara-negara maestro sepakbola lainnya, ada rasa optimis yang meyakini bahwa sebenarnya timnas kita akan mampu bersaing dengan negara manapun. Hal itulah yang dibangkitkan oleh dia, sesuatu yang sudah sangat langka dan entah kapan terakhir kita memilikinya.
Bagi penulis, sepakbola bukan hanya soal kalah, menang atau seri, walaupun yang tetap dituju adalah juara, akan tetapi ada nilai lain, yaitu sportivitas, kerja sama tim, semangat kerja keras dan kedisiplinan, itulah yang AR suntikkan secara perlahan kepada tubuh timnas, hasilnya? lihat saja permainan yang ditunjukkan timnas yang pada akhirnya berkorelasi pada minat masyarakat untuk menonton timnas, rasanya suatu hal yang mustahil bila masyarakat mau rela mengantri tiket masuk kalau permainan timnas buruk, bukan?
Hingga ketika kita hanya jadi runner-up, tak tampak sikap-sikap anarkis atau kekecewaan yang mendalam,justru muncul perasaan respek kepada para pemain, sikap yang timbul karena melihat mereka sebenarnya telah berusaha keras, bahkan berdarah-darah di lapangan, ternyata baru kita resapi, bahwa kadang gelar juara tidak menentukan bila melihat penampilan indah yang diperagakan para pemain timnas kita.
Kembali ke hasil pertandingan Bahrain yang berakhir kekalahan, tiba-tiba saja penulis bergumam dalam hati, mungkinkah bila AR masih jadi pelatih timnas kita hasilnya akan berbeda?...tiba-tiba optimisme itu muncul kembali, akan tetapi saya tersadar dari mimpi, bahwa dia telah pergi........ah, aku rindu Riedl





Tidak ada komentar:

Posting Komentar